The first task of a leader is to keep hope alive
TEORI ‘LEMPER’
DALAM MENGHITUNG UNIT COST

Suatu waktu ibu-ibu yang tergabung dalam PKK di RT kami, mengundang ahli masak membuat kue lemper yang sudah terkenal kelezatannya, namanya ibu Sudji. Ibu Sudji diminta memberi pelajaran kepada ibu-ibu PKK, bagaimana cara membuat lemper yang lezat tadi, beserta bahan-bahan yang diperlukan. Diharapkan setelah mengikuti pelatihan ini, ibu-ibu mempunyai ketrampilan tambahan membuat lem-per yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan pendapatan keluarga dengan cara mem buat dan menjual lemper sebagai pekerjaan sambilan.

Dalam melakukan demo(nstrasi), ibu Sudji membawa contoh bahan baku lemper termasuk bumbu2, satu paket, untuk membuat 100 biji lemper. Perkiraan harga bahan ba-ku untuk membuat 100 lemper tersebut kurang lebih Rp. 25.000,-.

Dalam paket bahan yang dibawa ibu Sudji, antara lain adalah ketan, santan kelapa, daun pisang muda (yang warna hijau muda kekuning-kuningan), dan tak lupa daging ayam, serta bumbu-bumbu seperti garam, merica, bawang putih dan lain-lain.

Singkat cerita, ibu-ibu PKK yang berjumlah kurang lebih 20 orang itu, merasa se-nang mengetahui ‘rahasia’ memasak lemper ala bu Sudji, dan ingin mencoba dirumah. Bahkan ada beberapa ibu, seperti Bu Alex, bu Fony, yang keduanya berasal dari luar Jawa, terus bu Tarno dan bu Tinah, sudah merencanakan akan mencari pendapatan tambahan berjualan lemper sebagai usaha sampingan.

Kasus I

Bu Alex yang suaminya mantan karyawan Bank Swasta, yang kena PHK, mulai mencoba membuat lemper dengan bahan-bahan persis seperti yang dicontohkan oleh bu Sudji. Pak Alex setuju bahkan mendorong dengan kesediaan membantu mulai dari memasak, bahkan kalau perlu ikut serta memasarkan.

Karena rumah bu Alex kecil, rumah Perumnas ukuran 36 m2, dan pak Alex ingin membantu, maka setelah memasak bahan-bahn lemper didapur selesai, finishingnya (membungkus dengan daun pisang dan plastik) dilakukan dikamar tamu yang sekaligus juga merupakan ruang makan bersama. Bu Alex memasak bahan dan bumbu tadi dengan peralatan masak yang sederhana, bahkan kompornya masih kompor minyak tanah.

Dengan bahan seharga Rp. 25.000,- bu Alex dapat menghasilkan lemper 100 biji persis seperti yang didemokan oleh bu Sudji. Kemudian dijual dengan harga Rp. 500,- per biji. Dan tanpa disangka, belum sempat pak Alex berangkat untuk menitipkan lempernya ke warung tegal diseberang perumahannya, datang bu Pudjo yang hari itu akan mengada kan acara arisan keluarga dirumah. Begitu disodorkan lemper untuk dicicipi, ternyata rasa lemper bu Alex sungguh diluar dugaan, lezat sekali, dan langsung dibeli semuanya oleh bu Pudjo.

Setahun kemudian, dari hasil usaha sampingan tersebut, ternyata pak Alex sudah dapat membeli sepeda motor, sehingga makin memudahkan dan memperluas wilayah pemasaran lempernya. Saat ini produksi lemper bu Alex sudah mencapai 1000 biji perhari dengan harga jual tetap Rp. 500,-, meskipun pak Alex tahu bahwa lemper buatan isterinya laku dijual Rp.750,- per biji di toko kue. Pak Alex menjadi optimis meskipun kena PHK untuk meningkatkan usaha sampingan ini menjadi usaha utama, bahkan berencana akan membuka kios sendiri (sewa/kontrak). Selain sepeda motor, ternyata pak Alex sudah me miliki kulkas, dan listriknya sudah dinaikkan dari 900 menjadi 1300 watt.

Kasus 2

Lain dengan ibu Fony, yang suaminya masih aktif bekerja di Pemda, sebagai peja-bat eselon IV, juga mencoba mempraktekan membuat lemper hanya sebagai selingan sa-ja. Mendengar isterinya mau mencoba usaha sampingan membuat lemper, pak Freddy, suami bu Fony langsung merasa tersinggung, marah, merasa martabatnya turun. Masak isteri pejabat mau jualan lemper, malu-maluin.

Lain dengan pak Alex, rumah pak Freddy sudah direnovasi menjadi ukuran 54m2 rumahnya sudah dilengkapi dengan penyejuk ruangan (AC), punya mobil Mercy tahun 86 dan tagihan listriknya saja sebulan rata-rata Rp.300.000,-. Dapurnya sudah dilengkapi dengan kitchen set seharga Rp.3.000.000,-

Bu Fony, dengan bahan membuat lemper Rp.25.000,- bisa menghasilkan lemper sebanyak 75 biji. Karena tidak dijual, maka selain dinikmati oleh keluarga, sebagian juga dibagikan ke tetangga dan keluarganya. Kesan mereka, rasa lemper bu Fony cukup enak, tapi masih kalah jika dibandingkan dengan lemper bu Alex. Dan lagi pula lemper bu Fony ukurannya terlalu besar, kurang menarik, mirip arem-arem.

Dari kedua kasus tersebut, karena bu Tinah dan bu Tarno tidak pernah mempraktekkan, karena memang tidak hoby masak memasak dan suaminya pejabat di Departemen Keu-angan melarang mereka melakukan usaha sampingan, pertanyaannya adalah ;

Berapa Unit Cost (harga pokok pabrik atau yang orang awam sering memberi istilah modal) sebiji lemper yang dihasilkan oleh bu Alex maupun bu Fony ? Bagaimana menghitungnya ? Mengapa demikian?

Pertanyaan rincinya adalah :

  1. Apakah bu Alex dalam menghitung unit cost perbiji lemper sudah memperhitung kan biaya listrik, luas ruangan, tenaga dan transportasi (sepeda motor). Kalau ya, bagaimana menghitung pembebanannya? Kalau tidak, apa alasannya? Apa harga beli kulkas sudah diperhitungkan juga, karena kulkas dipakai menyimpan sebagian bahan baku lemper.

  2. Meskipun bu Fony tidak menjual hasil produksinya, tetapi coba dihitung berapa unit cost perbiji lemper yang dihasilkan. Bagaimana kaitannya dengan biaya listrik kompor gas, kitchen set dan sebagainya. Apakah ini juga merupakan faktor yang harus dihitung dalam menentukan unit cost?

  3. Apakah bu Alex dan bu Fony akan menempuh cara yang sama dalam menghitung unit cost perbiji lemper?

DISKUSI

Untuk lebih jelas bagaimana mereka menghitung unit cost, sebaiknya ya kita tanya langsung ke yang menjual lemper. Tentu kita akan kaget, betapa simple alias sederhana cara berfikir mereka.

Ada yang tidak memikirkan unit cost perbiji, tetapi mereka langsung memikirkan berapa harga jual perbiji supaya dapat untung. Dengan keuntungan yang diperoleh tadi secara kumulatif dalam sebulan, mereka menggunakan keuntungan itu untuk bayar listrik, telepon dan lain-lain.

Kalau yang melakukan perhitungan unit cost atau harga pokok per biji, mereka hanya menghitung berapa uang yang dikeluarkan untuk membeli bahan baku dan bumbu untuk membuat lemper, paling ditambah gas atau minyak tanah yang dipakai untuk operasional memasak.

Pada umumnya mereka hanya memikirkan harga jual, dan dari keuntungan yang akan diperoleh itulah mereka baru memikirkan untuk biaya operasional, biaya investasi beli alat baru maupun untuk pengembangan.

Dengan contoh yang sangat simpel ini, kita disadarkan, bahwa kita sering terjebak oleh berbagai teori-teori yang terlalu muluk dan tidak membumi. Satu hal lagi yang sering dan amat sering terjadi, kalau kita menghitung unit cost, ternyata yang kita pikirkan adalah masalah pricing, bagaimana mementukan harga jual. Disinilah mulainya kerancuan berfikir kita.

Kalau faktor listrik, tempat kerja/dapur, peralatan dan lain-lain, diperhitungkan dalam menentukan unit cost sebiji lemper. Pasti besarnya unit cost sebiji lemper bu Alex akan sangat jauh berbeda dengan lemper yang dibuat bu Fony.

Coba bayangkan, kalau kemudian pak Alex memasukkan harga kulkas dalam per hitungan unit cost lemper, atau bahkan sepeda motor yang dipakai juga untuk mendistribusikan lemper. Pasti unit costnya akan jauh lebih besar dari harga jual.

PENUTUP

Bagaimana pola pikir kita dalam menghitung unit cost sangat menentukan hasil perhitungan. Dan pola pikir yang sederhana seperti menghitung unit cost lemper diatas, unit cost dirumah sakit dapat dihitung dengan lebih baik dan lebih rasional. Karena yang dijual RS adalah jasa, bisa juga kita melakukan studi banding ke salon, panti pijat, pengaca ra, jasa pemakaman, atau jasa pelayanan pengantaran jenazah, kita akan lebih sadar kom ponena apa saja yang perlu dan tidak perlu diperhitungkan dalam mencari unit cost.

Sekedar mengingatkan saja, kesalahan yang sering kita lakukan dalam menghitung unit cost antara lain:

  1. Belum pernah ada yang merumuskan apa ‘satuan’ unit jasa pelayanan RS atau jasa pelayanan medik itu. Sebagai bukti, selama ini konsultan ataupun pengajar yang menjelaskan dan menggunakan teori penghitungan unit cost, selalu menggunakan angka jumlah kunjungan dan jumlah hari rawat sebagai pembagi atas total cost yang dihitung. Lupa bahwa angka-angka itu hanya menunjukkan jumlah produk yang terjual, lupa bahwa produk yang tidak terjual itu hilang begitu saja, tidak dapat disimpan.

  2. Karena tidak tahu satuan unitnya, maka dengan sendirinya kita tidak dapat menetapkan komponen produk yang harus dihitung.

  3. Yang sering terjadi juga adalah pada saat kita menghitung unit cost, yang kita pikirkan adalah komponen-komponen penetapan tarip atau harga jual

Dengan demikian maka teori untuk menghitung unit cost makin lengkap dengan adanya teori ‘lemper’ ini. Sebanyak apapun teori yang ada, akhirnya pilihan terserah anda. Yang penting, jangan menghabiskan enersi untuk menghitung unit cost, kalau toh pada akhirnya dalam menentukan tarip hanya tengok kanan tengok kiri, alias tengok tarip yang berlaku di Rumah Sakit lain.

Selamat Berdiskusi