The first task of a leader is to keep hope alive

KERANCUAN PENGGUNAAN TEORI EKONOMI DALAM MANAJEMEN RUMAH SAKIT
Heru Kusumanto *

PENDAHULUAN

Pergeseran cara pengelolaan rumah sakit dari yang semata-mata melaksanakan fungsi sosial, kemudian menjadi RS yang melaksanakan fungsi sosial tetapi sekaligus menerapkan prinsip-prinsip ekonomi, menyebabkan hampir semua pengelola rumah sakit mempelajari ekonomi baik melalui jalur formal maupun secara otodidak. Bahkan didalam kurikulum setiap pendidikan manajemen rumah sakit disemua jenjang (D3, S1 maupun S2) diajarkan teori2 ekonomi apa adanya, baik untuk keuangan, pengelolaan sumberdaya, marketing rumah sakit dan mutu pelayanan.

Kalau orientasi pemikiran yang mengkategorikan jasa pelayanan RS atau jasa pelayanan medik sebagai produk yang tidak nampak (intangible), tidak dapat disimpan, mudah berubah, adalah sudah benar. Tetapi begitu menyamakan rumah sakit seperti hotel dan restoran, berarti kita telah terjebak.

Hotel, Restoran, Bank dan jasa lainnya adalah termasuk jasa yang dicari. Sedangkan Rumah Sakit, jasa yang diproduksi adalah terkategori jasa yang tidak dicari (unsought product). Sakit itu bukan kebutuhan, tetapi resiko. Sedangkan yang merupakan kebutuhan adalah sehat. Disinilah awal musibah pemikiran kita yang menjadi tidak klop dalam menerapkan ilmu ekonomi dalam manajemen perumah sakitan.

Coba kita lihat implikasi dari pemahaman yang tidak tepat tadi :

Menyamakan Rumah Sakit dengan Hotel atau Restoran

Memang benar kondisi kamar rawat inap mirip dengan hotel karena ada tempat tidur yang nyaman, berpenyejuk ruangan, ada kulkas, ada tv, bahkan ada telpon. Yang membedakan mungkin hotel tidak mempunyai saluran oksigen disetiap kamarnya.

Nah, apakah karena itu jasa pelayanan RS sama dengan hotel ? Ini terlalu meloncat-loncat berfikirnya. Coba direnungkan, seandainya kita menginap di hotel, sebentar-sebantar datang petugas laundry, kemudian room service, tak ketinggalan supervisor, padahal kita ingin istirahat. Apa tidak jengkel? Pasti langsung kita pasang tulisan ‘don’t disturb’ alias jangan ganggu, di depan kamar kita. Kita ke hotel kan ingin istirahat, menikmati tempat tidur dan segala fasilitasnya.

Dan sangat mungkin, setiap orang mempunyai keinginan suatu saat akan menginap di hotel yang mewah, yang tarip semalamnya jutaan rupiah, karena sudah bisa membayangkan kemewahan fasilitas dan pelayanannya.

Bagaimana dengan Rumah Sakit? Apa ada yang bercita-cita, atau punya keinginan suatu saat menginap di Rumah Sakit, kelas VIP sekalipun? Atau ingin menginap di ICU karena fasilitasnya lengkap? Dapatkah kita datang dari airport terlintas keinginan untuk menginap di RS dan menanyakan apakah ada kamar kosong? Pasti kalau ada yang melakukan seperti diatas, perlu dicek dulu tingkat kesehatan ji wanya.

Pernah dirawat di RS? Pasti kita senang setiap kali ditengok dokter apakah untuk diperiksa, dipantau atau sekedar mengajak mengobrol untuk menenangkan1 perasaan. Begitau juga jika perawat datang, hati kita akan senang, apakah mereka memenuhi panggilan lewat bel, ataukah untuk memantau kondisi, temperatur, tetesan infus dsb. Apalagi kalau sanak saudara, teman banyak yang membezoek, rasanya senang mendapat perhatian. Apa jadinya kalau dokter visitenya jam 22.00? Perawat dipanggil pakai bel tidak datang-datang? Infus hampir habis tidak ada perawat yang nongol? Apa enggak sebel?

Jadi masihkah anda tetap menyamakan Rumah Sakit dengan hotel? Terserah, pilihan tetap ditangan anda.

Dengan Restoran, apakah sama? Bayangkan apakah bisa dalam memberikan pelayanan obat disajikan secara buffet? Prasmanan? Memang ada menu pilihan. Tapi coba tanyakan pada yang sakit? Ternyata mereka tidak ingin makan, bahkan semua makanan terasa tidak ada yang enak. Ahli gizi memang dapat membuat sajian demikian menarik tetapi mereka memikirkan menariknya dari segi orang sehat. Tidak ada satupun makanan yang enak dilidah pasien. Kecuali bagi yang hampir sembuh.

Orang datang ke Rumah Sakit itu karena terpaksa, sehingga kita harus sadar betul, bahwa yang dijual di Rumah Sakit bukanlah tempat tidur dan segala fasilitasnya, tetapi justrupelayanan diatas tempat tidur, yaitu pelayanan medis dan asuhan keperawatan yang profesional, dalam mengatasi resiko yang diderita pasien.

Kalau boleh menyarankan, buang jauh-jauh pemikiran untuk menyamakan Rumah Sakit dengan hotel ataupun restoran.

Mungkin padanan jasa RS yang sesuai adalah sama dengan jasa pemadam kebakaran atau jasa pemakaman.

Ini semua kalau paradigma RS adalah masih berorientasi memberikan pelayanan hanya kepada orang sakit.

Teori Ability to Pay dan Willingness to Pay

Biasa disingkat ATP dan WTP, teori ini sebenarnya hanya berlaku untuk sesuatu yang dicari, produk yang dibutuhkan, produk untuk memenuhi kebutuhan. Dan memang ilmu ekonomi adalah mempelajari bagaimana upaya manusia baik secara sendiri maupun berkelompok memenuhi kebutuhan dalam keterbatasan sumberdaya.

Lha, apakah sakit itu kebutuhan? Memangnya ada orang yang pengin sakit? Mengatasi penyakit itu sendiri sudah merupakan perjuangan, apalagi disuruh membayar. Kalaupun membayar, itu adalah keterpaksaan, bahkan melebihi kemampuannya. Anehnya meskipun tidak sembuh dan meninggal, malah mengucapkan terima kasih atas perawatan selama di RS.

Masih cocokkah ini untuk menghitung kemampuan orang membayar jasa pelayanan medik?

Kecuali kalau yang dijual adalah jasa pelayanan medik yang sifatnya untuk promotif, rehabilitatif atau renovasi (istilah penulis). Misalnya bedah kosmetik untuk memancungkan hidung, membesarkan payudara, menghilangkan lemak, menanam rambut dsb, teori ATP dan WTP bisa dipergunakan. Karena jasa ini memang dicari. Dan biasanya orang yang datangpun sudah siap dengan uang untuk membayar jasa sesuai tarip.

Bagaimana dengan teori elastisitas demand

Teori elastisitas mengajarkan bahwa jika harga turun maka demand akan naik, sedangkan jika harga naik maka demand akan turun. Misalnya jika harga televisi 24” saat ini Rp. 2,5 juta, kemudian ada obral dijual per unit Rp. 500 ribu, tentu yang membeli akan bertambah banyak, demikian sebaliknya, jika harga menjadi lebih tinggi, maka yang akan membeli pasti menjadi lebih sedikit. Ini yang dinamakan bahwa TV itu merupakan barang yang elastis. Tidak demikian halnya dengan beras misalnya, biar harganya menjadi Rp. 100,- per kg, jumlah yang kita beli tidak akan menjadi berlipat, apalagi ada barang substitusinya, dalam hal ini beras menjadi barang yang inelastis

Bagaimana dengan Rumah Sakit? Apakah kalau kita cabut gigi, diberi diskon, cabut dua gratis satu, apa orang berduyun-duyun minta dicabut giginya? Kok rasanya janggal. Tetapi kalau medical check up gratis pasti orang berduyun-duyun datang.

Oleh karena itu, sekali lagi hati-hati dalam menggunakan istilah-istilah ekonomi dalam mengelola Rumah Sakit.

Segmentasi pelanggan Rumah Sakit

Segmen pasar adalah kelompok pelanggan yang secara umum mempunyai kesamaan kebutuhan terhadap produk yang dijual. Misalnya jaket kulit, kira-kira siapa pelanggannya? Apakah para petani? Kan tidak. Mungkin pelanggannya adalah pengendara sepeda motor, remaja di kota yang berhawa dingin dst.

Coba kalau pelayanan medis untuk pengobatan, misalnya bedah jantung. Bagaimana segmentasinya? Biasanya dipergunakan data angka morbiditas yang ada di dinas kesehatan. Tetapi apakah ini tepat ? silahkan para pakar marketing untuk mengkajinya.

Penghitungan Unit Cost

Sudah banyak yang mencoba bahkan mempraktekan menghitung unit cost pelayanan ataupun penunjang medis. Tetapi coba tanyakan, apa rumusan satuan unitnya? Lha kok bisa menghitung kalau tidak tahu satuan unit nya?

Menghitung unit cost, secara umum adalah membagi total cost dengan jumlah produksi(tolong kalau salah dikoreksi), lha kalau pembaginya jumlah kunjungan rawat jalan, jumlah hari rawat dan sebagainya, apakah ini jumlah produksi? Bukankah jumlah kunjungan dan yang lain itu adalah jumlah jasa yang terjual? Bagaimana dengan yang tidak terjual? Ya hilang, karena jasa tidak dapat disimpan (ingat ciri-ciri jasa sebagai produk).

Umumnya setelah menghitung unit cost secara njlimet, bertele-tele, bahkan dengan bantuan konsultan, orang asing lagi, toh akhirnya dalam menetapkan tarip hanya melihat tarip RS lain, lebih rendah dari RS yang dianggap lebih maju, tetapi lebih tinggi dari RS yang dianggap kurang maju.

Pernah menghitung berapa kapasitas rawat jalan, kapasitaspelayanan rawat inap, kapasitas radiologi ? Baik kapasitas produksi, kapasitas terpasang maupun kapasitas terjual? Belum? Lha kok bisa-bisanya menghitung unit cost.

Mau tahu marketingnya Rumah Sakit?

Yang jadi bench mark dalam marketing biasanya RS yang modern dan pelayanannya bagus. Mereka membuat promosi dalam berbagai bentuk mulai dari presentasi, iklan, booklet, membuat divisi marketing. Ini yang kemudian ditiru. Apa hasilnya? Ternyata mengecewakan, tidak seperti RS yang ditiru. Apa ada yang salah? Jelas ada.

Mereka dapat menawarkan dan laku, karena jasa pelayanan medisnya memang sudah bermutu, baik dari segi profesi medis maupun dari segi kebutuhan orang sakit. Sehingga apapun yang mereka katakan, mereka janjikan, sesuai dengan kenyataan. Lha di Indonesia? Tolong dijawab sendiri.

Tengok apa yang dikatakan Kotler, itu mbahnya ahli pemasaran, sebelum pemasaran keluar (exrternal marketing) terlebih dahulu harus dilakukan pemasaran intern (internal marketing) terlebih dahulu, agar benar-benar produk yang dihasilkan memenuhi dan memuaskan pelanggan. Bagaimana dengan praktek pemasaran RS di Indonesia?

Itulah susahnya kalau kita masih terjebak dengan pemasaran untuk produk fisik, yang nampak, atau produk jasa yang dicari (hotel, bank atau restoran). Sekali lagi sakit itu bukan kebutuhan, tetapi resiko.

Apa sebenarnya dipasarkan oleh RS? Benar, memang pelayanan medis atau tepatnya pengobatan, tetapi lebih dari itu semua, sebenarnya yang dijual adalah kepercayaan, yaitu kepercayaan bahwa jasa yang dibeli benar-benar akan memecahkan masalah kesehatan yang dihadapi pelanggan

Oleh karena itu, pemasaran yang paling sesuai adalah dari mulut ke mulut, dari orang ke orang. Dari pengalaman orang yang pernah berobat.

Kualitas produk diukur dari kepuasan pelanggan ?

Ya tidak salah-salah banget sih. Tapi rasanya perlu dikritisi. Begini, kalau kita membeli barang, katakanlah handphone, mengukur kualitas handphone itu setelah atau sebelum membeli? Rasa-rasanya kita menilai kualitas pasti sebelum membeli, bagaimana fitur2nya, kenyamanan penggunaan, termasuk jaminan mutunya. Setelah kita beli dan kita pergunakan, baru dapat diketahui apakah handphone tersebut memenuhi kebutuhan dan keinginan kita. Jadi masalah kepuasan pelanggan adalah setelah terjadi transaksi, bukan sebelum transaksi.

Oleh karena itu, dalam menetapkan masalah mutu pelayanan medis, jangan buru2 menyinggung kepuasan pelanggan.

Kita perlu mengingat lagi, apa sebenarnya kebutuhan orang sakit? Sering dijawab, kebutuhan orang sakit adalah ‘sembuh’. Itu seperti menjawab pertanyaan, apa kebutuhan orang yang lapar? Apa ya harus dijawab dengan ‘kenyang’? Orang akan menjadi kenyang setelah dia makan, benar kan? Jadi apa kebutuhan orang lapar? Ya makanan la yauw. Jadi kembali kepada orang sakit, apa kebutuhan mereka?

Pasti dijawab ‘pengobatan’. Bahwa mereka menjadi sembuh atau bahkan menjadi tambah buruk kondisinya, tentulah setelah diberi pengobatan. Kalau pengobatan tepat, dan pasien melakukan apa yang disarankan dokter ya akan sembuh. Tetapi begitu sebaliknya.

Jadi mutu jasa pelayanan medis ditentukan dari ketepatan diagnosa, ketepatan terapi, termasuk pemberian obat, ketepatan tindakan medik dan ketepatan asuhan keperawatan. Inilah yang disebut dengan inti produk jasa pelayanan medis, karena hal inilah yang akan langsung memenuhi kebutuhan orang sakit. Bukan kemasan ataupun pelengkap produk seperti kalau kita membahas barang fisik.

Strategic Business Unit

Coba perhatikan buku2 tentang strategic management, sebenarnya istilah ini hanya digunakan pada organisasi besar yang sifatnya holding company. Yaitu perusahaan yang mempunyai anak perusahaan dengan bermacam-macam produk yang berbeda, yang masing2 mempunyai segmen pasar yang berbeda, dan merupakan bisnis tung gal.

Apakah RS merupakan organisasi yang bersifat holding? No way. Organisasi RS bersifat integrated, dimana setiap satuan kerja mempunyai hubungan saling ketergantungan dengan satuan kerja yang lain.

Jadi? Konsep SBU ya jangan dipakai di RS? Kalau dipakai kenapa? Ya kacau, coba kalau kita menggunakan konsep ini untuk menganalisa kinerja unit/satuan kerja dengan metode BCG? Mana yang menjadi sapi perah mana yang jadi bintang. Amburadul deh.

Kecuali RS punya usaha lain, yang berdiri sendiri dan mempunyai segmen yang berbeda. Misalnya punya fitness center, spa, yang tentunya punya pengelola yang terpisah, dan pada akhir tahun laporan keuangan harus dilakukan konsolidasi.

Oleh karena itu, janganlah kita buru-buru menggunakan istilah asing yang kelihatannya keren, tetapi menggunakannya salah, hanya disebabkan karena ketidak tepatan pemahaman kita terhadap istilah tersbut.

SWOT Analisis

Ini lebih rame lagi. Hampir semua buku tentang strategic management menjelaskan analisa perusahaan diawali dengan analisa kekuatan, kelemahan kemudiah peluang dan terakhir ancaman, sesuai urutan s = strength, w = weaknessess, disusul o atau opportunity dan kemudian t yaitu threat atau ancaman, kalau dibaca, SWOT

Nha, kalau prakteknya mengikuti urutan itu pasti kita terjebak, bikin sewot. Why?

Yang biasa dilakukan adalah dengan cara brain storming, masing-masing curah pendapat, dimulai dengan memikirkan apa saja kekuatan kita, kemudian kelemahan dan seterusnya.

Coba perhatikan, misalnya kekuatan RS adalah ‘banyaknya dokter spesialis’. Apakah dokter spesialis yang banyak itu merupakan kekuatan? Pertanyaannya, banyaknya dokter tadi untuk meraih peluang apa? Kalau kita mengkategorikan kekuatan tentunya tahu kekuatan untuk apa? Apakah yang bermakna untuk mencapai peluang adalah faktor ‘banyak’ nya dokter ataukah keramahan, kedisiplinan dan profesionalitasnya?

Yang menjelaskan secara sederhana masalah SWOT ini sebenarnya bukan buku Strategic Management, tetapi justru buku marketingnya Kotler. Yaitu pasti memulai menganalisa faktor eksternal terlebih dahulu.

Memulai dengan analisa terhadap faktor eksternal terlebih dahulu sebetulnya adalah alamiah. Apapun yang menggerakkan kita adalah faktor luar, karena kita melihat peluang maka kita bergerak.

Menggunakan analisa SWOT itu tidak sepotong-sepotong secara terpisah antar S, W, O dan T, tetapi secara komprehensif, dan ada urutan pola pikirnya (flow of thinking)

Pertama tama adalah kita melihat ada tidaknya peluang. Peluang apa, apakah sesuatu yang dapat meningkatkan volume penjualan? Menurunkan cost atau meningkatkan efisiensi? Ataukah peluang untuk menyesuaikan (naik/turun) Tarip?. Inipun masih harus diuji, apakah peluang tadi benar-benar peluang atau hanya semu? Yaitu dengan me nilai dari segi daya tarik dan kemungkinan keberhasilannya. Kalau mempunyai daya tarik tinggi dan kemungkinan keberhasilan tinggi, maka itu memang bermakna peluang. Tetapi kalau semua rendah, berarti bukan peluang, abaikan saja.

Demikian pula dengan ancaman, kita harus fokus pada sesuatu yang akan mengancam atau menghambat pencapaian peluang diatas. Inipun tetap harus dikaji dulu, apakah benar-benar ancaman atau bukan. Yaitu dilihat kemungkinan terjadinya, seberapa tinggi kemungkinan terjadinya. Kemudian dilihat tingkat keseriusannya. Apakah kalau ini terjadi memberi akibat dan dampak yang serius untuk meraih peluang tersebut? Kalau keduanya rendah berarti bukan ancaman. Tetapi kalau tinggi, hati2, berarti benar-benar ancaman.

Jadi waktu menganalisa peluang dan ancaman ada hubungan langsung yang tidak dapat dipisahkan. Fokusnya pada peluang.

Bagaimana dengan Kekuatan dan Kelemahan? Sama saja, fokusnya tetap pada peluang. Hanya dalam menganalisa kekuatan dan peluang yang dianalisa adalah kinerja atau prestasi kita untuk meraih peluang sekaligus mengeliminir ancaman.

Kekuatan dan kelemahan inipun tetap harus dikaji terlebih dahulu tingkat kepentingannya maupun tingkat pencapaian kinerjanya.

Prestasi yang dilihat adalah dari semua aspek, mulai dari organisasi, pemasaran, keuangan, sumberdaya manusia, sarana prasarana, dan harus terperinci. Cari, mana yang bermakna penting atau tingkat kepentingannya tinggi, dari yang tingkat kepentinganya tinggi kumpulkan mana-mana yang prestasinya kuat/sangat tinggi dan yang lemah/sangat rendah.

Kelompok prestasi yang kuat dan penting inilah yang disebut dengan kekuatan. Sedangkan yang lemah dan penting, inilah yang bermakna kelemahan.

Mudahnya begini, dalam aspek pemasaran, citra RS itu penting atau tidak? Pasti penting. Tetapi bagaimana prestasi RS kita? Citra RS kita ternyata baik, berarti citra ini mempunyai makna kekuatan.

Jadi kalau mau diurut secara benar menurut logika, analisa SWOT dimulai dari analisa faktor luar dengan mencari PELUANG baru dicari ANCAMAN, disusul dengan menanalisa KEKUATAN prestasi kita dan ter akhir KELEMAHAN, semuanya diarahkan dan difokuskan untuk pencapaian peluang tersebut. Cuma kalau disingkat OTWS kan susah ngapalnya. Asal tahu aja.

Feasibility Study (FS)

Pernahkah ada studi kelayakan yang menyatakan dalam kesimpulan studinya, bahwa RS tidak layak dibangun? Rasa-rasanya belum pernah ada. Jadi apa sebetulnya yang diharapkan dari suatu studi kelayakan?

Coba kita intip sedikit mengenai hasil studi kelayakan, yang kadang-kadang menjadi dokumen rahasia perusahaan. Aneh kan? Kalaupun ada yang boleh tahu hanya terbatas. Takut ditirulah dsb.

Perhatikan analisa swotnya, perhatikan juga data-data yang dikumpulkan, yang oleh konsultan FS biasanya sudah ada ‘template’nya. Misal nya data morbiditas diwilayahnya, mulai dari wilayah propinsi, sampai ke wilayah kabupaten/kotamadya dimana RS akan dibangun. Selain itu juga FS dipenuhi data demografi, menurut umur, jenis kelamin dst. Kemudian data yang menyangkut masalah ekonomi, seperti pendapatan perkapita (inipun yang ada datanya untuk tingkat nasional bukan wilayah regional). Mengenai RS yang ada disekitarnya, atau yang dianggap sebagai pesaing (meskipun RS lain itu belum tentu menganggap kita sebagai pesaing). Tak ketinggalan data tentang fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah, bahkan lengkap dengan data tentang profil pengunjungnya.

Dan yang paling menonjol adalah wilayah cakupan, konsep Puskesmas yang dipakai, yaitu wilayah disekelilingnya, kabupaten dan kodya disekitar. Bahkan ada yang menggunakan daerah radius dengan ukuran kilometer.

Masih ada lagi? Ya, masalah asumsi nilai tukar rupiah, tingkat inflasi (lagi2 yang ada datanya hanya tingkat nasional). Kemudian ini yang hebat, bisa memprediksi tingkat kunjungan pasien dan rawat inap dari tahun ketahun, pakai prosentase lagi. Belum mengenai bagaimana menghitung unit costnya, sehingga diperkirakan akan Break Even Point pada tahun sekian.

Pokoknya kita dibuat terpesona dengan FS, apalagi covernya sangat bagus, dicetak berwarna dikertas foto. Apalagi kalau hasil FS tebal, penuh dengan lampiran tabel dan grafik, foto. Canggih istilahnya.

Coba kita renungkan sejenak, apa iya sih semua data tadi relevan?

Misalnya data pendapatan perkapita, ini menggambarkan kemampuan paling tidak kemampuan daya beli masyarakat untuk memenuhi kebutuhan. Untuk apa data ini? Kaitannya ya dengan ability dan willingness to pay tadi. Apa ini tidak keliru? Sakit itu kan resiko, bukan kebutuhan. Boro-boro bicara ability, will saja tidak ada. Yang ada orang membayar pelayanan medis itu dengan terpaksa, bahkan sampai hartanya ludespun diikhlaskan (kalau ikhlas bener) asal penyakitnya sembuh. Lho, apa ini yang dimaksud dengan konsep ATP dan WTP?

Soal wilayah cakupan pelayanan, tepatkah menggunakan area/wilayah administratif pemerintahan sebagai data geografi dan demografi? Apalagi radius dengan ukuran kilometer. Kalau misalnya ada pasien orang asing yang datang, apa ya FS itu harus menggunakan wilayah analisis sampai kenegeri asing?

Sakit itu sekali lagi adalah resiko, tentunya yang masuk akal adalah radius dengan satuan waktu. Radius lima menit, radius 15 menit, radi us 30 menit, satu jam dan seterusnya. Kalau kita ambil peta, tentu akan jelas hal ini berkaitan dengan ‘akses’ke RS.

Pengin bukti? Coba buat profil pasien/pengunjung RS, amati dari segi penyakit (jenis, kegawatan, kedaruratan) dan lokasi tempat tinggal (domisili) atau tempat kejadian kecelakaan. Kemudian kita mapping, pasti akan terlihat hubungannya dengan akses ke RS.

Belum bicara tentang produksi. Kalau bisa menetapkan jumlah kunjungan dari tahun ketahun itu dasarnya apa? Kalau pakai prosentase, itu darimana perhitungannya? Lumrahnya, kalau kita akan meningkatkan produksi, kan harus tahu terlebih dahulu kapasitas produksi, kapasitas terpasang dan kapasitas terjual. Nah tentunya kita akan atau ingin mencapai kapasitas terpasang atau kapasitas produksi dan inipun harus jelas alasannya. Mengapa? Karena ini akan sangat menentukan strategi bisnis yang harus dilakukan.

Tetapi bagaimana menghitung kapasitas rawat jalan? Ada referensinya tidak? Ini khas pertanyaan dosen dan pembimbing thesis biasanya, yang selalu terbelenggu dengan referensi, baik textbook, journal, kajian ilmiah (atau yang diilmiah-ilmiahkan) atau ambil dari internet. Kalau semua-semua harus ada referensi, kapan kita akan menghasilkan sesuatu yang akan menjadi referensi bagi orang lain? Ada lagi yang lebih ekstrim, jangan pakai referensi yang umurnya lebih dari lima tahun. Lho aneh kan? Tanya saja sama akademisi. Padahal kita tahu ilmu aljabar, hukum pascal dan sebagainya itu sudah berumur berapa abad? Kitab suci saja tidak mengajarkan untuk membatasi referensi, bahkan kita diminta membaca lingkungan alam dan kehidupan kita, itu yang dimaksud dengan kata ‘iqro’ dalam kitab suci Islam.

Memang karena jasa itu sifatnya tidak nampak, dan lebih celaka lagi, tidak dapat disimpan, maka otomatis produk yang dihasilkan tapi tidak terjual itu ya pasti hilang begitu saja. Tapi bagaimanapun, kapasitas ini tentu bisa dihitung. Ada rumusnya? Ada, mari kita rumuskan bersama.

Jasa itu diproduksi dan dikonsumsi pada saat yang sama

Ya, memang begitu yang ditulis buku-buku marketing. Tapi coba kita kaji sebentar. Kalau teori ini benar, maka tentunya jika tidak ada pasien yang datang, berarti tidak ada produk yang dihasilkan. Apa iya sih? Bolehkah kita katakan produktifitas hanya dilihat dari banyak sedikitnya pasien yang datang? Wah gawat kalau jawabanya ’ya’.

Kita semua tentu sepakat, kalau lampu rumah kita mati, tv tidak dinyalakan, kulkas kita matikan dan lain2 yang menggunakan tenaga listrik kita matikan, apakah listriknya tidak ada? Coba saja pegang kabelnya, berani? Pasti ada ‘stroom’nya, ya kan. Artinya apa? Produk nya tetap ada, cuma tidak dikonsumsi. Nah ini mirip dengan kasus pelayanan RS diatas. Produknya ada, cuma tidak laku.

Oleh karena itu, istilah yang mungkin tepat adalah Disajikan dan Dikonsumsi pada saat yang sama.

Just In Time (JIT) dalam pengendalian persediaan

Kebetulan yang memberikan pelatihan mengenai pengendalian persediaan dari PT Astra Toyota, dan sangat menarik. Kita menjadi paham mengenai bagaimana mengendalikan persediaan dengan methode JIT ini. Tetapi apakah methode Just In Time (JIT) ini sesuai untuk Rumah Sakit? Itu tadi kan untuk manufaktur alias pabrik produk fisi, mobil.

Coba perhatikan, pabrik otomotif itu yang diproduksi adalah barang fisik, jadi satu hal sudah berbeda dengan RS, kemudian jumlah produksi sudah pasti ditetapkan jumlah kuantitatifnya terlebih dahulu. Lha apa di RS jumlah produk yang akan diproduksi sudah direncanakan? Selain itu di pabrik yang menggunakan JIT tadi ada konsistensi dan kontinyuitas pemasok spare partnya.

JIT itu, pertama-tama tujuannya adalah untuk meminimalkan persediaan (zero inventory), sehingga persediaan itu baru ada pada saat dibutuhkan. Nah disini mungkin letak kerancuannya. Kita menterjemahkan barang tersedia pada saat dibutuhkan, istilahnya On time delivery

JIT itu hanya berlaku untuk produk fisik yang proses produksinya bertahap, seperti pabrik otomotif pada saat assmenbling mobil misalnya. Pada saat memasang mesin, maka ban, pintu mobil dan sebagainya tidak perlu tersedia dulu. Jadi kalau konsep ini mau dipraktekkan di RS tidak bisa.

Tidak ada kegiatan operasional, khususnya tindakan medik yang dilakukan secara bertahap seperti perakitan mobil. Memang pada saat operasi yang terencana misalnya, obat dan bahan farmasi dapat disediakan dan disiapkan terlebih dahulu, sehingga pada saat operasi sudah tersedia. Tetapi bukan itu maksud konsep JIT.

Belum lagi konsep atau teori Economic Order Quantity (EOQ), ABC dan ABC index kritis, Kanban system, wah sangat sulit diterapkan. Pertama karena jumlah produk yang akan dihasilkan tidak dapat ditetapkan secara pasti. Kedua, bahan logistik RS, baik farmasi dan non farmasi jumlah itemnya ribuan. Ketiga, prosedur pengadaan (terutama di RS pemerintah) tidak menjamin dilakukan efisiensi. Keempat, keterbatasan anggaran dan yang terakhir keterbatasan tempat penyimpanan barang

Penutup

Sebenarnya masih sangat banyak yang harus dikaji dan dikritisi tentang penggunaan ilmu ekonomi dalam manajemen perumah sakitan. Pernah suatu saat penulis ditelpon seseorang yang akan membuat FS, menanyakan (mungkin mengetes juga) “biasanya satu tempat tidur itu untuk melayani berapa ribu penduduk?”. Jawaban penulis, ya tentu tidak dengan memberikan jawaban kuantitatif, hanya menjelaskan kalau membuat FS, tidak merupakan keharusan dan penulis tidak akan memakainya. Alhamdulillah, penanya tidak jadi minta tolong membuat FS. Ibaratnya dokter, yang memberi resep itu dokter atau pasien boleh milih obatnya sendiri?

Sebagai penutup, pemahaman terhadap produk yang diperjual belikan atau dihasilkan oleh RS harus dipahami benar secara tepat oleh para pimpinan RS, bahkan seharusnya oleh semua civitas RS. Istilahnya kita harus mempunyai Product Knowledge yang memadai. Tidak hanya orang Rumah Sakit, tetapi juga para civitas akademika yang mempelajari masalah perumah sakitan. Ini baru bicara produk, belum membahas bagaimana produksinya. Mungkin dilain kesempatan kita bisa berdiskusi langsung, agar kita bisa menyamakan persepsi, termasuk faktor-faktor produksi yang juga harus kita kuasai.

Semoga apa yang sedikit ini dapat membuat pencerahan atau sangat mungkin membuat bingung, atau malah sangat mungkin menjadi marah, tentunya dengan rendah hati kami sangat berterima kasih bagi yang akan mengoreksi pemikiran ini. Mungkin penulis yang terjebak dalam menafsirkan teori-teori ekonomi.

Jakarta, 30 Oktober 2005

Kepustakaan

Chang, Richard Y, et al, Langkah-langkah Pemecahan Masalah, Terjemahan, PT Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 1998

Dess, Gregory G, Alex Miller, Strategic Management, International Edition, Mc Graw Hill, Singapore, 1993.

Evan J, Douglas, Managerial Economics, Analysis and Strategy, 3rd edition, Prentice Hall International, New Jersey, 1987

Hamidi, Luthfi M, et al, The Celestial Management, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004

John, A Pierce, Richard Robinson, Strategic Management, Formulation, Implementation dand Control, Irwin Publication, Singapore, 1995

Kotler, Philip, Marketing Management, Analysis, Planning, Implementation and Control, 9th edition, Prentice Hall, New Jersey, 1997

Poernomosidi, HS, Pendekatan Sistem, IMBI, Yogyakarta, 1993

Schroeder, Roger G, Operation Management, Decision Making in the Operations Function, 4th edition, Mc Graw Hill, Singapore, 1993

Trisnantoro, Laksono, Aspek Strategis Manajemen Rumah Sakit, Antara Misi Sosial dan Tekanan Pasar, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2005





1* Pengurus LP3 Persi Pusat, Konsultan